Aku, Seorang Mantan Jurnalis Tempo

ID Card Tempo (Dok : Pribadi)
Kata temenku Fatya Alfaraby, sekarang di Reuters, menjadi jurnalis adalah pekerjaan paling menyenangkan di dunia ini. Alasanya, kerja nyantai, bisa jalan-jalan kemana-mana, gaji gede, ktemu orang 'gedean' pula dan lainnya. "Goblok lu malah pilih pulang kampung," katanya setengah sadar.

Percakapan itu adalah bagian dari 'welcome speech' buatku sejak 7 bulan perpisahan kita. Aku baru saja tiba kembali lagi Jakarta kala itu, pukul 3 dinihari, di Jalan Jaksa.

Ya, aku mengamini perkataan Tya, menjadi jurnalis memang menyenangkan. Bertahun-tahun aku menjalaninya dengan hati riang.

Bekerja menjadi jurnalis memang salah satu cita-citaku meski aku menimba ilmu di dunia kehutanan. Itu follow up aktivitas ekstraku di kampus. List pengalaman kerja di CV ku semua berkaitan dengan dunia jurnalistik. Mula-mula di Koran Kampus IPB yang memiliki tagline 'Dengan Pena Mejerat Berita, Mengguncang Dunia' dan Radio Kampus Agri FM The Voice of Agriculture adalah tempatku berkiprah selama berjaket Biru.
Setelah lulus, nyambi di Majalah Kabar Sanggabuana buatan Rimbawan Muda Indonesia (RMI) yang berkecimpung di pemberdayaan masyarakat adat sekitar hutan Gunung Halimun-Salak. Lalu, di Majalah Agro Observer yang digawangi pentolan Himpunan Alumni IPB adalah tempatku berkarier. See, gw tak bisa jauh dari dunia jurnalistik...!!

Maka, diterima menjadi Wartawan TEMPO adalah kabar paling menyenangkan di penghujung tahun 2006. TEMPO geto loh.. Majalah terdepan di Endonesia yg enak dibaca dan perlu.. hehe. Untuk Tempo, akupun menolak tawaran kerja di LSM Kehutanan terkenal dan sebuah perusahaan hutan dan mantap menjadi jurnalis. Yaah, profesi itu kurasa adalah panggilan hatiku.

Gaji kecil, buta belantara Jakarta adalah tantangan utama awal karir menjadi Calon Reporter di Velbak (Kantor Koran Tempo). Kadang, demi ngirit aku rela libur jadi hari kerja. *soalnya bisa numpang makan nasi kotak kantor, mandi dan tidur di ruangan ber-AC..hehe.

Waktupun berjalan cepat dan inilah perjalanan 52 bulan aku di Tempo. Enam bulan di DPR meliput kegiatan politik, enam bulan malang melintang di Jakarta Selatan mengejar Taruna (istilah polisi untuk menyebut kasus), satu setengah tahun menjadi penguntit Sri Mulyani (plus secret admirer) dan Boediono di sekitar Lapangan Banteng dan 'Gedung Setan', setahun dua bulan jadi 'nyamuk' di Istana Negara nunggui SBY dan JK kemudian 'naik pangkat' menjadi penulis di Majalah Tempo kurang lebih 3 bulan. Itu perjalanan karierku...singkat dan padat.

Dikejar-kejar deadline, redaktur ngehe (*ga sebut nama), ditekan narsum, diancam, digugat, cape muter-muter ampe tipes. Itu cerita sedihnya. Senangnya? Banyak. Jalan-jalan, banyak teman, 'jak2an' di hotel dan istana (maklum anak kampung), ngobrol ama orang-orang bermulut 'besar', bebas tilang polisi (eh ini ga baik), salaman ama SBY (maaf ini biar keren aja.. huek) dan ini nih yang nyer..liat betis Sri Mulyani..haha.

Sekarang aku sudah menutup buku. Tulisan-tulisanku sudah tak lagi menghiasi media..*ceile. Cerita-cerita sedih dan senang di atas sudah menjadi kenangan. Sudah 7 bulan ini, aku memilih bekerja menjadi penyuluh pertanian dan kehutanan di Purbalingga, Jawa Tengah, juga menjadi seorang petani cum peternak serta memenuhi keinginan orang tuaku untuk tinggal di dekatnya.

Sebuah pilihan yang sulit, melalui perdebatan panjang, berurai air mata (lebay), yang akhirnya kupilih juga. Aku sekarang seorang mantan jurnalis.

*Ditulis abis bangun pagi sambil melihat jendela. Ditingkahi kicau burung, dibelai angin sambil dicium mentari pagi.

NB : Notes ini juga saya pasang di Facebook dan ini adalah komen terbaik yang saya pilih. Dari teman seperjuangan saya selama di Tempo, Cheta Nilawaty :

Saya cuma inget, dulu ada seorang sarjana IPB berkemeja rapih, duduk disebelah saya (kami duduk paling depan) Sambil mengerjakan tes pauli, matanya melirik ke arah saya, tampangnya panik...hanya karena saya sudah membalik lembar kertas hitu...ngan. Gak disangka, pas tes ketiga wawancara di kantor velbak. Dia satu term lagi sama saya. Sampai akhirnya kami keterima satu angkatan, "The Lost Generation" Tempo yang cuma 10 orang dan terlupakan.

Dia jadi yang terbaik di angkatan saya. Diangkat jadi reporter paling dulu (tidak kurang 6 bulan), bonus gaji rapelan paling gede..dan selalu dapat pos strategis (DPR, Selatan, Depkeu dan Istana)... Kebetulan barengnya saya dan dia tidak sampai disitu saja tapi terus berlanjut hingga ke Majalah.. Dia menjadi tempat saya berkeluh kesah pas butek dan mentok, jadi kebanggaan saya pas lagi lontarin usulan di rapat perencanaan... semua keunggulan ada di dia..

Hanya satu yang dia gak punya, tapi saya punya, yaitu, 'ketahanan' tahan untuk ditahan di Tempo... Huehehehehhehe. So kebersamaan 3 tahun 8 bulan itu benar2 berakhir

Kurang mesra apa gw buat notes-nya kan?? huh!!

- big hug and lot of kisses-
igo saputra Orang yang suka berkhayal dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Jangan berhenti berimaji..

0 Response to "Aku, Seorang Mantan Jurnalis Tempo"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel